Dualisme JATMAN–JATMA: Polarisasi Tarekat Akibat Sentimen Nasab
3 mins read

Dualisme JATMAN–JATMA: Polarisasi Tarekat Akibat Sentimen Nasab

Oleh: Jemmy Ibnu Suardi, M.A.*

Polemik tentang keabsahan nasab zuriyat Nabi kembali menyeruak, memunculkan friksi tajam dalam internal para pengamal tarekat di Indonesia. Dimulai dari pernyataan seorang tokoh habib yang mengklaim superioritas nasab Arab atas keturunan lokal Walisongo, perdebatan ini meluas menjadi persoalan keorganisasian yang berdampak langsung pada keberlangsungan institusi tarekat.

Kontroversi nasab bukan isu baru. Namun, saat narasi ini diperuncing dan dibawa ke ranah publik, ia menjadi sumbu pemecah solidaritas di antara pengamal tarekat. Saling klaim keabsahan garis keturunan Nabi antara jalur Ba’alawi dari Yaman dan jalur Walisongo dari Jawa menguat. Bahkan, uji DNA pun dimunculkan sebagai “hujjah ilmiah”, seperti yang pernah disampaikan Habib Rizieq dalam salah satu video lama yang kembali viral.

Tantangan tersebut kemudian dijawab oleh Kiai Imaduddin, yang menyebut hasil DNA klan Ba’alawi berbeda dari klan Syarif lainnya. Namun demikian, Syekh Ali Jum’ah, ulama besar asal Mesir, telah menegaskan bahwa secara ijma’, nasab Ba’alawi tetap sah sebagai zuriyat Nabi. Klaim tetap klaim—validasi nasab memang perkara yang kompleks dan tidak bisa disederhanakan melalui satu pendekatan ilmiah semata.

Namun, dampaknya nyata. Dalam Kongres JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah) tahun 2023, Habib Luthfi bin Yahya yang telah memimpin sejak tahun 2000, tidak terpilih kembali. Ia digantikan oleh KH Achmad Chalwani. Selain isu nasab, Habib Luthfi juga dituduh menyelewengkan sejarah organisasi. Usai lengser, ia mendirikan organisasi tandingan: JATMA Aswaja (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah Ahlussunnah wal Jamaah).

Deklarasi JATMA Aswaja berlangsung pada 18 April 2025, bertepatan dengan pengajian rutin Kanzus Sholawat di Pekalongan. Dihadiri berbagai ulama dari Jawa Timur, Kalimantan, hingga Sulawesi, JATMA Aswaja kini berdiri sebagai ormas independen yang telah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.

Maka sejak itu, dunia tarekat di Pulau Jawa memiliki dua kutub organisasi: JATMAN di bawah PBNU, dan JATMA Aswaja di bawah komando Habib Luthfi. Polarisasi ini mencerminkan betapa isu identitas dan legitimasi nasab bisa berujung pada perpecahan struktural di tubuh tarekat.

Tarekat di Sumatera: Tenang di Tengah Badai

Berbeda dari Jawa, Sumatera tidak terlampau bergeming menghadapi polarisasi ini. Sejak abad ke-16, tarekat telah mengakar kuat di Sumatera melalui figur Syekh Abdurrauf Singkil dan Syekh Burhanuddin Ulakan dengan Tarekat Syattariyah. Kemudian menyusul Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dibawa Syekh Ismail Khalidi pada abad ke-19.

Kedua tarekat ini berkembang dalam sistem pendidikan surau yang otonom, jauh dari hiruk-pikuk organisasi besar. Meskipun sebagian pengamal Naqsyabandiyah kemudian bernaung di bawah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), komunitas Syattariyah cenderung mempertahankan independensinya. DPP Syattariyah yang kini dipimpin Buya Ismet Koto Tuo menjadi salah satu pengejawantahan strukturalnya, namun banyak tokoh tarekat seperti Abuya Tuanku Kuning Cubadak tetap fokus mengembangkan tradisi keilmuan berbasis surau.

Institusi surau—yang dalam konteks Jawa setara dengan pesantren—menjadi poros pendidikan spiritual di Sumatera. Tradisi ini melahirkan intelektual-intelektual Muslim bergelar “Tuanku”, dengan penekanan kuat pada tasawuf, bukan politik identitas.

Menjaga Spiritualitas, Menolak Polarisasi

Fenomena JATMAN–JATMA menjadi cermin bahwa ketika sentimen identitas dinisbatkan pada nasab, konflik vertikal dalam spiritualitas bisa tak terhindarkan. Klaim zuriyat Nabi memang memiliki tempat dalam tradisi Islam, namun ia seharusnya tidak menjadi dasar untuk menghakimi otoritas spiritual seseorang atau membelah umat.

Tarekat sebagai jalan ruhani seyogianya tetap menjadi ruang penguatan jiwa, bukan ajang kontestasi genealogis. Spiritualitas—dalam pengertian paling murni—menuntut kerendahan hati, bukan justru memupuk ego kolektif atas nama warisan darah.

Semoga para pengamal tarekat dapat kembali menatap ke dalam—pada hakikat dzikir, pada keheningan batin, pada akhlak Nabi, bukan pada hiruk-pikuk silsilah yang tak pernah benar-benar tuntas diperdebatkan.

Wallahu a‘lam.

*Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *