
Cegah Konflik Keberagamaan, Media Diimbau Gunakan Narasi yang Sensitif
Media massa memiliki peran strategis dalam mencegah konflik sosial yang berakar pada isu keagamaan. Oleh karena itu, insan pers diimbau untuk lebih berhati-hati dalam memilih narasi pemberitaan yang menyangkut keragaman agama, agar tidak memicu ketegangan antarumat beragama.
Hal ini mengemuka dalam Webinar Media Gathering bertajuk “Peran Media dalam Mencegah Konflik Keberagamaan” yang diselenggarakan pada Jumat (25/4/2025). Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber dari Kementerian Agama, jurnalis senior, dan pegiat masyarakat sipil yang menyoroti pentingnya pendekatan moderasi beragama dalam peliputan isu-isu sensitif.
Muhammad Syafaat, perwakilan Subdirektorat Bina Paham Keagamaan Islam, menyampaikan bahwa istilah moderasi beragama di era Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar mengalami perluasan makna. Kini, istilah tersebut dikembangkan menjadi beragama maslahat, yang mencakup dimensi kerukunan, cinta kemanusiaan, dan ekoteologi.
“Fokusnya tidak hanya pada hubungan internal umat atau antarumat dan negara, tetapi juga pada hubungan antara agama dan lingkungan serta agama dan kemanusiaan,” ujarnya.
Menurut Syafaat, pelaksanaan program kerukunan beragama menjadi tanggung jawab Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Badan Pengembangan Moderasi Beragama dan Sumber Daya Manusia (BMB/BPSDM). Ia menambahkan bahwa pascareformasi, konflik keagamaan di Indonesia mayoritas terjadi dalam komunitas Muslim, sehingga diperlukan pendekatan yang cermat dan sensitif.
Ia menekankan pentingnya dasar hukum moderasi beragama yang telah diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta diperkuat oleh berbagai peraturan presiden dan peraturan menteri.
“Kementerian Agama tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu agama benar atau salah. Oleh karena itu, penggunaan istilah seperti ‘sesat’ atau ‘menyimpang’ dalam pemberitaan harus dihindari,” tegasnya.
Syafaat mencontohkan kasus di Pandeglang, Banten, yang menjadi viral akibat pelabelan negatif terhadap praktik keberagamaan kelompok tertentu. Menurutnya, pendekatan yang lebih bijak dan konfirmasi menyeluruh sangat diperlukan agar pemberitaan tidak menimbulkan stigma atau memperburuk situasi.
“Dalam menulis berita, rujukan penting adalah Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sistem Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan. Media juga dapat menghubungi pranata humas Kemenag yang tersebar di seluruh Indonesia untuk konfirmasi data,” ujarnya.
Senada dengan itu, Alvin Nur Choironi, anggota penyusun Panduan Peliputan Media Toleransi, mengingatkan bahwa media harus menjadi aktor yang meredam, bukan memperkeruh konflik.
“Informasi dari media kerap menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan. Maka dari itu, media memiliki tanggung jawab besar untuk tidak memperbesar konflik,” katanya.
Alvin juga menyoroti pentingnya menggali informasi langsung di lapangan dan menjadikan korban sebagai narasumber utama. Ia mengingatkan agar media tidak mengandalkan akun-akun yang tidak jelas di media sosial sebagai sumber informasi.
“Wartawan harus memiliki perspektif hak asasi manusia, memahami konteks lokal, serta berhati-hati dalam memilih diksi, terutama dalam isu keberagaman agama,” ujarnya.
Ia menguraikan enam kesalahan umum dalam peliputan keberagaman, antara lain tidak memahami ajaran kelompok yang diliput, membawa tafsir pribadi, menggunakan stereotip, menggunakan judul provokatif, bermotif dakwah, dan tidak sensitif terhadap simbol atau istilah keagamaan.
“Jangan sampai satu kata dalam berita justru menjadi pemicu kekerasan terhadap kelompok tertentu,” ucap Alvin yang juga menjabat sebagai Redaktur Islami.co.
Dalam kesempatan yang sama, aktivis inklusi sosial Abi Setio Nugroho menekankan peran masyarakat sipil sebagai penyeimbang negara dan pelindung kelompok rentan dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).
Abi menilai masih terdapat kesenjangan antara kebijakan dan kenyataan di lapangan. Ia mencontohkan kasus GKI Yasmin, Gereja di Cilegon, serta kelompok Ahmadiyah di berbagai daerah yang belum mendapatkan perlindungan maksimal dari negara.
Ia menambahkan, peliputan media yang tidak sensitif kerap memperburuk stigma terhadap kelompok minoritas agama. Laporan SETARA Institute tahun 2023 mencatat 180 pelanggaran KBB, dengan 61 persen di antaranya pertama kali diangkat oleh media.
“Media seharusnya mampu membangun narasi tandingan yang ramah keberagaman, bekerja sama dengan organisasi seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Gusdurian, Wahid Foundation, dan lainnya,” ujar Abi.
Ia menegaskan perlunya pelatihan jurnalis mengenai peliputan berbasis HAM dan pluralisme serta pentingnya revisi kebijakan penyiaran agar lebih sensitif terhadap isu KBB.
“Koalisi media dan masyarakat sipil perlu dibentuk untuk memproduksi konten yang mewakili lintas agama, suku, gender, dan keyakinan. Ini penting untuk menjaga harmoni sosial,” pungkasnya.