Pendidikan Pembebasan ala Paulo Freire dan Relevansinya di Indonesia
4 mins read

Pendidikan Pembebasan ala Paulo Freire dan Relevansinya di Indonesia

Pernahkah Anda merasa bahwa pendidikan yang kita jalani tidak benar-benar membebaskan, melainkan malah membatasi? Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire, seorang filsuf dan pendidik asal Brasil, mengungkap bagaimana pendidikan bisa menjadi alat penindasan sekaligus pembebasan. Buku ini lahir dari pengalaman hidup Freire di Brasil, negara dengan ketimpangan sosial yang ekstrem, di mana ia menyaksikan ketidakadilan kelas yang memprihatinkan. Dari pengamatannya, Freire bertanya: bagaimana pendidikan dapat memulihkan kemanusiaan mereka yang tertindas?

Freire memperkenalkan konsep “pendidikan gaya bank”, di mana siswa dipandang sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan pengetahuan dari guru. Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk dialog, pemikiran kritis, atau refleksi. Siswa hanya menjadi objek pasif yang menerima informasi tanpa kesempatan untuk mengkritisi atau memahami konteks. Pendidikan seperti ini, menurut Freire, bukan hanya tidak membebaskan, tetapi justru memperkuat struktur penindasan yang ada.

Sebagai alternatif, Freire mengusulkan metode pendidikan hadap masalah (problem-posing education), di mana guru dan siswa berperan sebagai mitra dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini mendorong dialog, pemikiran kritis, dan refleksi yang memungkinkan siswa menjadi subjek aktif dalam pembentukan dunia mereka. Pendidikan hadap masalah bertujuan untuk membangkitkan kesadaran sosial dan mendorong siswa untuk bertindak dalam mengubah realitas mereka.

Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientization), sebuah proses di mana individu mulai memahami struktur penindasan yang ada di sekitar mereka dan merasa terdorong untuk mengubahnya. Proses ini tidak dapat terwujud tanpa adanya dialog yang jujur dan terbuka antara guru dan siswa. Dalam pandangan Freire, dialog adalah elemen utama pendidikan yang membebaskan. Tanpa dialog, pendidikan hanya akan menjadi alat manipulasi. Sebaliknya, dengan dialog, siswa dapat menjadi subjek yang memiliki kontrol atas proses pembelajaran dan pemahamannya.

Freire juga mengkritik konsep “kebaikan palsu” yang dilakukan oleh penindas. Memberikan amal tanpa mengubah struktur yang menyebabkan kemiskinan hanya memperpanjang siklus penindasan. Pembebasan, menurut Freire, tidak dapat diberikan begitu saja; ia harus diperjuangkan oleh mereka yang tertindas bersama dengan sekutu-sekutunya. Hal ini menegaskan bahwa pembebasan adalah sebuah proses aktif, bukan sekadar pemberian dari pihak yang berkuasa.

Namun, Freire juga mengingatkan bahwa ada bahaya dalam perjuangan untuk pembebasan. Mereka yang tertindas, ketika berhasil merebut kekuasaan, bisa saja menjadi penindas baru jika mereka tidak menjalani proses pemulihan kemanusiaan yang menyeluruh. Pembebasan sejati harus mencakup pemulihan kemanusiaan baik bagi yang tertindas maupun yang menindas.

Dalam pandangan Freire, pendidikan seharusnya membuat siswa melihat dunia sebagai sesuatu yang dinamis dan dapat diubah, bukan sesuatu yang statis. Siswa harus dipandang sebagai agen perubahan, bukan sekadar penonton pasif. Untuk itu, Freire memperkenalkan konsep generative themes, isu-isu yang relevan dengan kehidupan siswa dan menjadi titik awal diskusi. Ia juga membedakan antara antidialogics (alat penindasan) dan dialogics (alat pembebasan). Penindasan bekerja melalui manipulasi, pembagian, dan invasi budaya, sementara pembebasan terjadi melalui dialog, kerja sama, dan solidaritas.

Freire menegaskan bahwa pendidikan tidak pernah netral. Pendidikan selalu membawa muatan politik. Oleh karena itu, guru harus berpihak pada mereka yang tertindas dan menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk memperjuangkan keadilan sosial. Di dunia yang semakin mengarah pada neoliberalisme ini, di mana pendidikan sering kali dipandang sebagai komoditas, gagasan Freire tentang pendidikan pembebasan semakin relevan. Pendidikan tidak boleh hanya dipandang sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi, tetapi harus menjadi sarana untuk menciptakan dunia yang lebih adil.

Lantas, bagaimana dengan pendidikan di Indonesia? Apakah kita telah mencerminkan gagasan Freire atau masih terjebak dalam pendidikan gaya bank yang menekankan hafalan tanpa pemahaman kritis? Tantangan untuk menerapkan pendidikan yang membebaskan masih sangat besar di Indonesia, di mana sistem pendidikan yang berfokus pada ujian, ketimpangan akses, dan minimnya ruang untuk dialog kritis menjadi kendala utama.

Namun, menariknya, program Merdeka Belajar yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memiliki keselarasan dengan pemikiran Freire. Program ini menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa, mendorong kreativitas, serta pengembangan pemikiran kritis. Walau demikian, implementasinya membutuhkan komitmen dan adaptasi dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi alat pembebasan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan memahami gagasan Freire, kita dapat mulai merancang sistem pendidikan yang lebih inklusif, relevan, dan membebaskan. Pendidikan adalah hak asasi manusia, dan setiap individu berhak untuk belajar, memahami dunia mereka, dan mengubahnya. Inilah inti dari keadilan sosial yang sesungguhnya.

Referensi:

Freire, P. (2000). Pedagogy of the Oppressed (30th anniversary ed., M. B. Ramos, Trans.). Bloomsbury Academic. (Original work published 1970).

Pedagogy of the Oppressed – Wikipedia

Penerapan Pemikiran Paulo Freire untuk Sistem Pendidikan Indonesia di Masa Online

Pemikiran Filosofis Paulo Freire terhadap Persoalan Pendidikan dan Relevansinya dengan Program MBKM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *