Penutupan Al-Azhar oleh Dinasti Ayyubiyah: Perspektif Sejarah, Politik, dan Teologi
4 mins read

Penutupan Al-Azhar oleh Dinasti Ayyubiyah: Perspektif Sejarah, Politik, dan Teologi

Al-Azhar, salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di dunia, telah melalui berbagai fase sejarah yang mencerminkan hubungan erat antara agama dan politik. Awalnya didirikan oleh Dinasti Fatimiyah pada tahun 970 M sebagai pusat pengajaran ajaran Syiah Ismailiyah, Al-Azhar kemudian mengalami penutupan selama hampir satu abad setelah Mesir dikuasai Dinasti Ayyubiyah pada abad ke-12. Peristiwa ini sering dianggap sebagai upaya untuk menghapus pengaruh Syiah dan memperkuat ajaran Sunni.

Penutupan Al-Azhar oleh Shalahuddin Al-Ayyubi tidak hanya berdampak pada ranah teologis, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial dan politik yang signifikan. Dengan mengkaji latar belakang, alasan, serta berbagai pandangan ulama dan sejarawan, kita dapat memahami bagaimana keputusan ini mencerminkan dinamika yang lebih besar dalam sejarah Islam.

Latar Belakang Sejarah Al-Azhar

1. Pendirian dan Peran di Masa Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah, yang memerintah Mesir sejak tahun 969 M, mendirikan Al-Azhar sebagai simbol kekuasaan dan pusat pendidikan Syiah Ismailiyah. Selain masjid, Al-Azhar juga menjadi tempat dakwah untuk menyebarkan ajaran mereka. “Fatimiyah tidak hanya membangun Al-Azhar sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai alat politik untuk memperkuat legitimasi mereka,” tulis Dr. Abdul Aziz Asy-Syanawi (Tarikh Al Jami’ Al-Azhar, hlm. 45).

2. Transformasi di Masa Ayyubiyah
Setelah menggulingkan Dinasti Fatimiyah pada 1171 M, Shalahuddin Al-Ayyubi mengarahkan Mesir ke arah Sunni. Al-Azhar, yang menjadi simbol utama pengaruh Syiah, mengalami penutupan.

Ibnu Katsir mencatat bahwa “Shalahuddin melihat pentingnya menghilangkan akar ideologi Fatimiyah untuk menciptakan stabilitas politik dan religius” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 13, hlm. 199).

3. Masa Kebangkitan di Era Mamluk
Pada masa Dinasti Mamluk, Al-Azhar kembali diaktifkan sebagai pusat pendidikan Sunni. Para ulama dari berbagai mazhab Islam mulai berkontribusi dalam revitalisasi institusi ini.

Alasan Penutupan Al-Azhar

1. Faktor Teologis
Syiah Ismailiyah memiliki ajaran yang berbeda signifikan dari Sunni, terutama dalam konsep imamah. Al-Azhar menjadi pusat penyebaran ajaran ini, sehingga penutupannya dianggap langkah untuk menjaga kemurnian akidah Sunni. “Keputusan ini bukan sekadar strategi politik, tetapi juga untuk melindungi umat dari ajaran yang dianggap menyimpang,” tulis Syekh Ali Gomaa (Makalah Peran Al-Azhar, hlm. 17).

2. Faktor Politik
Penutupan Al-Azhar tidak hanya tentang agama tetapi juga tentang kekuasaan. Fatimiyah menggunakan Al-Azhar sebagai alat politik, sehingga Shalahuddin memandangnya sebagai ancaman. Karen Armstrong dalam The Battle for God menyebut, “Langkah ini bertujuan untuk menghapus pengaruh politik Fatimiyah sekaligus membangun legitimasi Dinasti Ayyubiyah” (hlm. 89).

3. Faktor Sosial dan Budaya
Al-Azhar pada masa Fatimiyah memainkan peran signifikan dalam membentuk identitas Syiah di Mesir. Dengan menutup Al-Azhar, Shalahuddin berupaya menggantikan identitas tersebut dengan nilai-nilai Sunni.

Dampak Penutupan Al-Azhar

1. Pergeseran Pusat Pendidikan
Selama masa penutupan, Dinasti Ayyubiyah mendirikan madrasah-madrasah Sunni yang kemudian menggantikan peran Al-Azhar.

“Madrasah-madrasah ini menjadi alat untuk menanamkan doktrin Sunni kepada generasi baru,” jelas Dr. Muhammad Al-Khudari Bek (Sejarah Islam Mesir, hlm. 120).

2. Revitalisasi Al-Azhar di Masa Mamluk
Setelah dibuka kembali, Al-Azhar mengalami transformasi menjadi pusat pendidikan yang inklusif, melayani ulama dari berbagai mazhab Sunni.

Menurut Dr. Thaha Abdul Aziz, “Revitalisasi ini menunjukkan kemampuan Al-Azhar untuk beradaptasi dengan kebutuhan umat Islam” (Al-Azhar wa Dauruhu Fi Nasyri As-Tsaqafah, hlm. 67).

Pandangan Ulama dan Sejarawan

1. Pendukung Penutupan
Ulama Sunni seperti Ibnu Katsir mendukung keputusan ini sebagai langkah menjaga akidah. “Penutupan ini adalah langkah tepat untuk menghapus pengaruh ajaran Syiah yang menyimpang,” tulisnya (Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 13, hlm. 201).

2. Kritik terhadap Penutupan
Beberapa sejarawan modern, seperti Karen Armstrong, mengkritik langkah ini sebagai bentuk intoleransi agama. “Penutupan ini mencerminkan konflik politik yang disamarkan sebagai perbedaan teologis,” tulisnya (The Battle for God, hlm. 89).

3. Pandangan Rekonsiliasi
Ada pula pandangan yang mencoba merekonsiliasi kedua sisi, melihat peristiwa ini sebagai bagian dari dinamika sejarah.

“Keputusan ini adalah respons terhadap konteks sosial-politik saat itu, bukan sekadar konflik ideologis,” tulis Dr. Abdul Aziz Asy-Syanawi (Tarikh Al Jami’ Al-Azhar, hlm. 50).

Kesimpulan

Penutupan Al-Azhar oleh Dinasti Ayyubiyah mencerminkan dinamika kompleks antara agama, politik, dan budaya. Meskipun sering dianggap sebagai langkah untuk menghapus pengaruh Syiah, penutupan ini juga berfungsi sebagai strategi politik untuk memperkuat legitimasi Dinasti Ayyubiyah. Dengan kebangkitan Al-Azhar di era Mamluk, institusi ini berhasil memulihkan perannya sebagai pusat pendidikan Islam yang inklusif.

Daftar Pustaka

1. Abdul Aziz Asy-Syanawi, Tarikh Al Jami’ Al-Azhar, Kairo: Dar Al-Kutub, 1990.

2. Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 13, Beirut: Dar Al-Fikr, 1993.

3. Karen Armstrong, The Battle for God, New York: Ballantine Books, 2000.

4. Muhammad Al-Khudari Bek, Sejarah Islam Mesir, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1959.

5. Thaha Abdul Aziz, Al-Azhar wa Dauruhu Fi Nasyri As-Tsaqafah, Kairo: Dar An-Nahdhah, 1985.

6. Ali Gomaa, Makalah Peran Al-Azhar, dipresentasikan pada Konferensi Ulama Dunia, 2010.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *