Letusan Gunung Tambora (1815): Bencana Vulkanik Terbesar dalam Sejarah
Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 adalah salah satu peristiwa vulkanik paling dahsyat dalam sejarah manusia. Tidak hanya menghancurkan wilayah sekitarnya, letusan ini juga memiliki dampak global, menyebabkan perubahan iklim yang dikenal sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas” pada 1816. Dengan skala mencapai level 7 pada Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan ini lebih besar dari letusan gunung berapi lainnya yang tercatat dalam sejarah.
Gunung Tambora terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sebelum letusan, ketinggiannya diperkirakan mencapai 4.300 meter di atas permukaan laut, menjadikannya salah satu gunung tertinggi di Nusantara. Aktivitas vulkanik mulai meningkat sejak 1812, ditandai dengan gempa bumi kecil dan keluarnya asap dari puncak gunung.
Gunung ini berada di zona subduksi, di mana lempeng tektonik Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia, menyebabkan magma terdorong ke atas. Tekanan yang terakumulasi selama ratusan tahun akhirnya memicu letusan besar.
Letusan besar Gunung Tambora terjadi pada 10 April 1815 dan berlangsung selama beberapa hari. Dentuman letusan terdengar hingga lebih dari 2.000 kilometer, bahkan sampai Pulau Sumatra. Debu vulkanik yang terlontar mencapai ketinggian sekitar 43 kilometer, membentuk awan abu besar yang menutupi wilayah Nusantara dan sekitarnya.
Letusan tersebut menghancurkan tiga kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Tambora, Pekat, dan Sanggar. Semua penduduk di sekitar gunung tewas akibat aliran piroklastik dan debu panas. Di Sumbawa, diperkirakan 10.000 orang tewas langsung, sementara puluhan ribu lainnya meninggal akibat kelaparan dan penyakit di tahun-tahun berikutnya.
Letusan Tambora memuntahkan sekitar 150 kilometer kubik material vulkanik ke atmosfer. Abu dan aerosol sulfat yang tersebar ke seluruh dunia menciptakan efek pendinginan global yang berlangsung beberapa tahun. Efek ini memicu fenomena “Tahun Tanpa Musim Panas” pada 1816. Suhu di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa, Amerika Utara, dan Asia, menurun drastis, menyebabkan gagal panen massal. Akibatnya, bencana kelaparan dan wabah penyakit melanda banyak negara.
Di Eropa, hujan terus-menerus menghancurkan tanaman. Di Swiss, kelaparan meluas karena gagal panen, dan banyak ternak mati karena kekurangan pakan. Di Amerika Utara, kekurangan pangan memaksa banyak orang bermigrasi ke barat. Di Eropa, kelaparan memicu keresahan sosial dan kerusuhan di berbagai negara. Beberapa sejarawan bahkan berpendapat bahwa efek perubahan iklim akibat letusan ini turut memengaruhi jalannya Revolusi Perancis.
Selain dampak sosial, letusan Tambora juga memberikan pengaruh besar di dunia sastra. Pada tahun 1816, Mary Shelley menulis novel *Frankenstein* di tengah cuaca buruk akibat letusan tersebut. Kondisi cuaca yang ekstrem membuat para penulis lebih sering tinggal di dalam ruangan, yang memicu kreativitas mereka.
Letusan Gunung Tambora mengubah secara drastis bentuk geografis Pulau Sumbawa. Gunung yang sebelumnya setinggi 4.300 meter kini hanya tersisa 2.851 meter, dengan kaldera besar berdiameter sekitar 6 kilometer sebagai bukti kedahsyatan letusan tersebut.
Saat ini, kawasan Gunung Tambora menjadi lokasi penelitian dan pariwisata. Banyak wisatawan datang untuk mendaki dan melihat kaldera besar yang terbentuk akibat letusan tersebut.