
Ipar adalah Maut; Memahami Mahram dan Ajnabi
Film Ipar Adalah Maut adalah drama keluarga dengan sentuhan religi yang mengisahkan kehancuran rumah tangga akibat perselingkuhan yang diproduksi MD Pictures di bawah arahan sutradara Hanung Bramantyo.
Film ini bercerita pengalaman seorang istri yang mendapati suaminya berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, karena “hidup satu atap” antar sebuah keluarga dan iparnya. Bagi sebagian masyarakat hidup bersama ipar sudah dianggap biasa, namun sebagian lagi menganggapnya sebagai hal yang tabu, mengingat di kehidupan nyata terjadi perselingkuhan yang dilakukan dengan ipar.
Lewat film “Ipar Adalah Maut” Hanung Bramantyo mencoba menyampaikan peringatan bahwa hubungan ipar harus terbatasi dengan mahram dan ajnabi, tidak membiarkan “hubungan tidak wajar” antar ajnabi (bukan mahram).
Dalam film tersebut dikisahkan sepasang suami istri (Aris-Nisa) terbina keluarga harmonis dan bahagia, tapi ketika memberikan ruang interaksi hubungan “ipar” berlebihan akan membawa malapapetaka, dimana ipar dari Aris (Rani) adiknya Nisa hadir dalam rumah tangga Aris-Nisa membawa kehancuran rumah rangga mereka dengan perselingkuhan Aris dan Rani.
Seolah film tersebut ingin menegaskan badai rumah tangga paling berbahaya justru berawal dari orang terdekat (ipar) yang tidak disadari sebagai awal kehancuran rumah tangga.
Dari sudut pandang Islam, sebenarnya Rasulullah sudah memberi larangan untuk para pasangan agar tidak hidup dalam satu atap dengan ipar, tujuannya semata-mata hanya untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan, lebih lagi Rasulullah mengharamkan terjadinya hubungan ‘khusus’ antara seorang laki-laki dengan saudara iparnya dengan sebutan “kematian.”
Mahram Dalam Islam
Mahram berasal dari kata haram yang bermakna tidak boleh atau terlarang. Dari sinilah terbentuk istilah mahram, yang berarti wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 6/555 menyebutkan mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena nasab, persusuan, dan pernikahan.
Secara garis besar, mahram terbagi dua:
1. Mahram Muabbad atau selamanya disebabkan :
a. Hubungan Nasab (Darah Daging), Mereka adalah ibu kandung, ayah, kakek, nenek, saudara kandung, bibi (saudara perempuan ayah dan saudara perempuan ibu), keponakan (anak perempuan dari saudara perempuan dan laki-laki).
b. Hubungan Radha’ (sepersusuan). yaitu ibu yang menyusui, ibu dari wanita yang menyusui (nenek), ibu dari suami yang isterinya menyusuinya (nenek juga), anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan), saudara wanita dari suami wanita yang menyusui, saudara wanita dari ibu yang menyusui.
Hubungan kemahraman ini berlaku untuk selama-lamanya meskipun terjadi kematian, perceraian ataupun pindah agama sekapun.
2. Mahram Ghairu Muabbad, yaitu kemahraman yang bersifat sementara karena adanya pernikahan, dikenal dengan istilah besanan/ipar. Mereka adalah ibu mertua, anak wanita dari isteri (anak tiri), isteri dari anak laki-laki (menantu peremuan), dan isteri dari ayah (ibu tiri).
Perlu diperhatikan, bahwa ipar, baik kakak ipar atau adik ipar, mereka tidak termasuk mahram, karena seorang laki-laki boleh menikahi adik atau kakak ipar apabila ia sudah bercerai dari istrinya atau istrinya sudah meninggal dunia. Sedangkan ibu mertua atau anak tiri, haram dinikahi oleh seorang laki-laki kalau istrinya sudah digauli (dukhul), meskipun ia sudah mencerai istrinya atau istrinya telah meninggal dunia.
Ipar adalah Maut
Bagi seorang wanita maka ipar adalah kerabat suami yang tidak termasuk mahram bagi istri, tidak terbatas saudara (adik atau kakak laki-laki suami) tapi seluruh kerabatnya yang bukan mahram seperti pamannya, sepupunya dan lain-lain. Adapun mahram istri dari kerabat suami adalah seperti bapak mertua dan seterusnya ke atas, anak suami (anak tiri) dan seterusnya ke bawah (Lihat Fathul Baari, 9/331).
Rasulullah Bersabda : “Janganlah kalian memasuki tempat para wanita. Maka berkata seorang lelaki dari kaum Anshar: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar? Rasulullah berkata: Ipar adalah kematian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut Ath Thabari, hadis tersebut dimaksudkan “Maknanya adalah seorang laki-laki yang berdua-duaan dengan istri saudaranya atau istri ponakannya sama seperti kematian (yang tidak disukai), dan kebiasaan orang Arab menyifatkan sesuatu yang tidak disukai dengan kematian.” (Fathul Baari, 9/332).
Kemudian An-Nawawi menjelaskan tafsir hadis tersebut dengan maknanya adalah berdua-duaan dengan kerabat suami bisa jadi lebih sering dibanding dengan selainnya. Demikian pula kejelekan dan fitnah (godaan yang menjerumuskan kepada zina) dengan ipar lebih besar, karena (umumnya) sangat memungkinkan untuk berhubungan dan berdua-duaan dengannya tanpa mendapat teguran. Berbeda dengan wanita lain (yang umumnya mendapat teguran orang).” (Fathul Baari, 9/332).
Sejalan demikian Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan “Dikatakan bahwa berdua-duaan bersama ipar (adalah maut) maksudnya dapat mengantarkan kepada kebinasaan agama seseorang, apabila terjadi kemaksiatan. Atau mengantarkan kepada kematian, apabila terjadi kemaksiatan (zina) dan wajib untuk dirajam (dilempari batu sampai mati dengan perintah penguasa). Atau mengantarkan kepada kehancuran wanita tersebut karena bercerai dengan suaminya, apabila suaminya cemburu sehingga menceraikan istrinya itu. Semua makna ini diisyaratkan oleh Al-Qurthubi.” (Fathul Baari, 9/332)
Dari Penafsiran tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Ipar, baik kakak ipar atau adik ipar, mereka tidak termasuk mahram, karena seorang laki-laki boleh menikahi adik atau kakak ipar oleh apabila ia sudah bercerai dari istrinya atau istrinya sudah meninggal dunia.
2. Larangan berkhalwah (berduaan) dengan wanita yang bukan mahram secara umum dan larangan berduaan dengan ipar secara khusus.
3. Seorang laki-laki yang berdua-duaan dengan istri saudaranya atau istri ponakannya sama seperti kematian: sesuatu yang tidak disukai dalam agama, menjerumuskan kepada perzinaan, menghantarkan kepada kebinasaan agama dan menghantarkan kepada kematian apabila terjadi perzinaan, karena harus dirajam sampai mati.
Dengan demikian ketika Rasulullah mengibaratkan ipar dengan maut, karena maut dapat menghilangkan kehidupan, sementara ipar yang memasuki rumah tanpa mahram dapat menghilangkan agama seseorang, yang lebih parah daripada maut. Oleh karena itu, seorang muslim harus hati-hati ketika berinteraksi dengan ipar untuk menjaga dirinya, menjaga pandangannya, menjaga hatinya dan menjaga imannya dari godaan syaitan yang menjerumuskan.
*Penyuluh Agama Islam Prov. Aceh, Ketua PD IPARI Pidie