Salam Lintas Agama
8 mins read

Salam Lintas Agama

Salam lintas agama baru popular belakangan di era reformasi. Dimaksudkan sebagai salam penghormatan kepada seluruh pemeluk agama, sekaligus sebagai simbol kerukunan dan toleransi beragama. Namun perlu ada kriteria dan batasan Salam lintas agama baru populer belakangan ini di era reformasi. Salam ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada seluruh pemeluk agama sekaligus sebagai simbol kerukunan dan toleransi beragama. Namun, dalam implementasi ini perlu ada kriteria dan batasan agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Undang-undang menjamin setiap warga negara untuk menjalankan agamanya sesuai keyakinan masing-masing, sehingga menjaga kemurnian ajaran agama merupakan tanggung jawab moral semua pihak. Oleh karena itu, kritik dari beberapa pihak dapat dipahami.

Persoalannya, bagaimana menengahi antara keinginan untuk setia pada ajaran agama masing-masing dengan keinginan untuk ramah terhadap pemeluk agama lain dalam hidup bernegara? Inilah yang ingin dijembatani melalui salam lintas agama yang dinilai mengandung syubhat.

Hukum Bersalam kepada Non-Muslim

Dalam pandangan Islam, salam adalah penghormatan sekaligus doa keselamatan dan kebaikan. Islam sebagai agama kedamaian menganjurkan umatnya untuk menebar kedamaian (ifsyaa’u al-salaam) kepada siapa pun, baik muslim maupun non-muslim. Hubungan dengan non-muslim dibangun di atas prinsip kebaikan dan keadilan. Tidak ada larangan untuk berlaku baik dan adil terhadap mereka yang tidak memerangi dan memusuhi (QS. Al-Mumtahanah: 8). Bahkan QS. Al-Zukhruf: 89 memerintahkan untuk berlapang dada terhadap mereka dan mengucapkan salam. Nabi Ibrahim yang menjadi teladan bagi kita (QS. Al-Mumtahanah: 4) juga pernah berucap salam kepada ayahnya yang kafir (QS. Maryam: 47). Sejumlah pernyataan Al-Qur’an tersebut menjadi petunjuk kuat bagi ulama kenamaan, Sufyan bin Uyaynah, untuk mengatakan bahwa hukum bersalam kepada orang kafir adalah boleh.

Bersalam kepada non-muslim merupakan masalah khilafiah. Sebagian kalangan melarangnya dengan dalil hadis Nabi yang menyatakan, “Jangan mulai bersalam kepada Yahudi dan Nasrani. Bila bertemu di jalan persempit ruang geraknya” (HR. Muslim). Dilihat dari konteksnya (sabab al-wurud), hadis tersebut dinyatakan dalam situasi perang, saat Nabi dan kaum muslim hendak mengepung Yahudi Bani Quraizhah karena melanggar perjanjian damai. Oleh karena itu, dalam situasi damai para ulama al-salaf al-shalih, mulai dari generasi sahabat sampai seterusnya, membolehkan bersalam kepada non-muslim. Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim (Yahudi dan orang musyrik) (HR. Al-Bukhari).

Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud, mengatakan, “Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan”. Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, muslim atau non-muslim, selalu berucap salam. Dia bilang, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian (Tafsir al-Qurthubi, 11/111). Menurutnya, salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan (Bahjat al-Majaalis, Ibn Abd al-Barr, 160).

Ibn al-Qayyim (w. 751 H), ulama yang dikenal konservatif dalam hal hubungan dengan non-muslim, menyebut sejumlah nama yang membolehkan salam untuk non-muslim, antara lain Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Umamah, al-Nakha’i, dan lainnya. Dalam pandangannya, boleh mulai berucap salam kepada mereka bila ada kemaslahatan bersama yang mendesak (mashlahah raajihah) karena faktor kekerabatan, bertetangga, atau lainnya. “Anda bersalam berarti mengikuti ulama salaf-salih. Tak bersalam juga mengikuti ulama salaf salih”, demikian pungkasnya, sambil mengutip ucapan Imam al-Awza’iy (Zaad al-Ma’aad, 2/388).

Redaksi Salam kepada Non-Muslim

Yang berpegangan secara tekstual pada hadis larangan memulai salam, menolak ucapan salam kepada non-muslim dalam bentuk apa pun. Bahkan, membalas ucapan salam mereka pun tak boleh, kecuali sekadar ucapan ‘wa’alaikum’ (dan atasmu) (Kumpulan Fatwa Bin Baz, 5/406). Ucapan salam atau selamat dalam bentuk apapun redaksinya tidak boleh, termasuk ucapan selamat datang (ahlan wasahlan) sebab itu berarti memuliakan mereka, padahal Allah telah merendahkannya (Kumpulan Fatwa Syeikh M. Shaleh Usaimin, Bab al-Wala wal Bara). Sebuah pandangan eksklusif yang meniadakan prinsip kesetaraan dalam hubungan bermasyarakat. Lalu, bagaimana dengan mereka yang membolehkan salam?

Tidak ada kata sepakat soal redaksinya. Ada yang berkata, cukup ungkapan assalaamu’alaikum atau salaamun ‘alaykum (salam sejahtera untukmu). Atau dengan ungkapan, assalaamu ‘alaa man ittba’al hudaa (salam sejahtera bagi setiap yang mengikuti petunjuk kebenaran). Ada yang berkata, seperti dikutip al-Mawaradi, tak boleh berucap salam sampai mendoakan ‘warahmatullahi’ setelah assalamu’alaikum. Rahmat Allah hanya untuk orang yang beriman. Tetapi, oleh al-Sya’biy dibantah dengan mengatakan, “Bukankah mereka (non-muslim) juga hidup karena rahmat dan kasih sayang Allah?” (Tafsir al-Qasimi, 3/244). Atas dasar itu, doa dan penghormatan kepada non-muslim bisa menggunakan kata salam, dan bisa juga menggunakan redaksi lain sesuai adat dan kebiasaan masyarakat, selama tidak mengandung kalimat atau makna yang diharamkan. Di sinilah letak masalah salam lintas agama yang dipersoalkan MUI Jatim, sebab di situ terdapat nama Tuhan dalam keyakinan agama lain.

Redaksi Salam Lintas Agama

Bila ditilik redaksinya dengan parameter MUI Jatim, tampaknya hanya dua dari lima salam pembuka agama yang dinilai berpotensi ‘merusak’ akidah seorang muslim bila diucapkan, yaitu salam Hindu (Om Swastiastu) dan salam Buddha (Namo Buddhaya). Tiga lainnya; salam Katolik (Shalom), salam Kristen (salam sejahtera bagi kita semua) dan salam Khonghucu (salam kebajikan), tidak membawa nama Tuhan. Makna dan maksudnya kurang lebih sama dengan assalaamu’alaikum. Hanya beda redaksi. Ikhtilaafun fil lafzhi, ittifaaqun fil ma’naa.

Dalam tradisi Hindu, kata Om adalah simbol atau aksara suci untuk Tuhan. Terdiri dari kata A (Brahma/Pencipta), U (Wisnu/Pemelihara) dan M (Siwa/Pengembali apa yang ada di semesta ke asalnya). Ketiganya dikenal sebagai Tri Murti. Aksara AUM menjadi Om sebagai manunggalnya Tri Murti menjadi Tuhan. Maha Esa Tuhannya, beragam sifatnya. Swastyastu berasal dari kata Swasti (baik, sehat, selamat) dan Astu (semoga, berharap seperti itu). Jika disambung, makna bebasnya: Ya Tuhan, semoga semua orang dan semua makhluk hidup selalu dalam keadaan baik, sehat, dan selamat. Kurang lebih sama substansinya dengan salam umat Islam. Demikian pula dengan Namo Buddhaya (Terpujilah Buddha). Memang begitu faktanya. Bahkan, tidak sedikit kalangan ulama Islam, termasuk Buya Hamka, yang menduga Buddha Sidarta Gautama sebagai nabi.

Apakah itu berarti meminta kepada Tuhan mereka? Tentu kembali kepada niat saat berucap. Yang pasti, semua agama meyakini Tuhan Yang Maha Esa. Zat Yang Wajibul-wujud (Maha Ada), Yang Mahatinggi, Pencipta alam semesta dan semua yang wujud. Nama, sifat, dan cara meyakininya bisa berbeda. Selama merujuk ke situ, maka tak mengapa. Berbeda nama, tapi tujuan sama. Oleh karenanya, sebagian ulama, seperti Al-Awzai dan al-Layts membolehkan sembelihan Ahlulkitab (Nasrani) yang disembelih dengan menyebut nama Yesus, Tuhan mereka (Ahkaam al-Qur’aan, al-Jasshash, 1/153). Ini tidak berarti semua agama sama. Masing-masing pemeluk agama berhak atas klaim kebenaran agamanya, tanpa menafikan eksistensi lainnya. Setiap pemeluk agama harus setia pada kebenaran tunggal yang diyakini.

Terkait salam lintas agama, kalau pendekatannya teologis esoteris memang pelik. Tetapi dengan pendekatan sosiologis, kita akan mudah menemukan jalan tengah. Dalam bersosial, terkadang harus ada mujaamalah (basa-basi) antara komponen masyarakat yang majemuk. Selain saling mendoa dan menebar damai, salam lintas agama yang diucapkan pejabat hanyalah sebuah tegur sapa dan bentuk penghormatan kepada semua pemeluk agama sebagai sesama warga bangsa yang telah berkomitmen untuk hidup rukun bersama. Tidak sampai pada masalah keyakinan. Terlalu jauh bila dimaknai sebagai pengakuan dan permohonan doa kepada tuhan selain Allah yang menyalahi akidah. Sama halnya dengan ucapan selamat natal yang biasa diucapkan saat perayaan natal. Banyak ulama kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi, Nasr Farid Washil dan Ali Jum’ah, keduanya mantan Mufti Mesir, membolehkan ucapan selamat natal sebagai bentuk mujaamalah dan bagian dari ‘berlaku baik dan adil’ yang tidak terlarang dalam QS. Al-Mumtahanah: 8.

Imbauan untuk tidak ikut mengucapkan salam lintas agama sangat relevan bagi yang merasa imannya akan terganggu bila ia mengucap salam tersebut. Demikian pula bagi masyarakat umum yang tidak ada kepentingannya dengan salam tersebut. Sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan mengucapkannya. Namun jangan larang atau ragukan iman orang yang karena tuntutan hubungan pergaulan harus berucap. Dalam situasi seperti ini, kita harus berupaya menemukan virtus in medio, kebajikan/ keutamaan yang terletak di antara dua sifat berlebihan. Seperti kata Aristoteles, keutaman atau kebajikan (al-fadhiilah) terletak di tengah-tengah; tidak terlalu ketat sampai berlebihan (tafriith) dan tidak terlalu kendor (ifraath). Itulah wasathiyyah yang perlu ditegakkan melalui konsep moderasi beragama. Intinya, dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara berislam dan bernegara bisa saling sinergi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *