
Lembaga Penjamin Syariah, Jawaban Memajukan Perwakafan (?)
Sebuah halaqah tersaji hangat di kampus IPB, Bogor, Kamis (16/05). Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menggelar FGD dengan tema Pemetaan Aset Wakaf Komersil Dan Identifikasi Sumber Pendanaan. Dihadiri unsur MUI, Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (Lazismu), Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) BI, OJK, BWI dan tentunya Direktorat Pemberdayaan Zakat dan wakaf, diskusi ini mengupas poin-poin pentingnya optimalisasi Keuangan Sosial Islam (KSI) sebagai salah satu sumber dana pembangunan Nasional. KSI yang terdiri atas zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) merupakan wacana kritis dalam mengembangkan perekonomian nasional sekaligus mendukung pembangunan nasional.
Ada 2 (dua) alasan mengapa KSI begitu penting dalam konteks pembangunan Nasional. Pertama, KSI terbukti efektif dalam memecahkan persoalan sosial-ekonomi seperti mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kedua, prinsip kerja KSI sejalan dan mendukung program Sustainable Development Goals (SDGs) lainnya, termasuk dalam program mengakhiri kelaparan, memfasilitasi lembaga pendidikan dan fasilitasi kesehatan bagi kaum miskin.
Fakta lain juga memperkuat kajian atas besarnya peran KSI ini. Dalam konteks Indonesia, data menunjukkan bahwa selain menempati peringkat pertama negara yang paling dermawan di dunia berdasarkan laporan World Giving Index (WGI) pada tahun 2023, pertumbuhan dana KSI sangat progresif. Pengumpulan KSI yang mencakup zakat, infak, sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) menunjukkan tren positif dengan angka Rp22 triliun di tahun 2022, atau tumbuh sebesar 84,16 persen dibandingkan tahun 2021 (BAZNAS, 2023).
Sementara itu, wakaf tak kalah strategis dari peran ZIS. Wakaf merupakan bagian penting Keuangan Sosial Islam (KSI) dalam pengembangan dan pendalaman sektor keuangan. Wakaf adalah salah satu instrumen pendanaan infrastruktur dengan biaya pendanaan yang relatif murah namun memberikan manfaat yang inklusif. Di sisi lain, inklusifitas wakaf ternyata memainkan peran penting dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama kelompok marjinal. Wakaf uang misalnya, saat ini telah bertransformasi dalam berbagai manfaat, salah satunya melalui integrasi antara sektor fiskal, sektor keuangan, dan sektor komersial dalam pengembangan wakaf uang melalui instrumen seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) dan Cash Waqf Linked Deposito (CWLD). Di masa pandemi krisis Covid-19, wakaf juga berkontribusi dalam pengembangan prasarana kesehatan bagi masyarakat (BI, 2021).
Meski potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp130 triliun, namun realisasi pengembangan wakaf uang masih jauh dari potensinya. Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat bahwa perolehan aset wakaf uang, baik yang berupa Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) maupun Non Cash Waqf Linked Sukuk (Non CWLS), mencapai Rp2,23 triliun per Oktober 2023 (1,71%) dari potensinya. Angka ini meningkat dari Rp1,4 triliun di tahun 2022.
Dukungan Pemerintah
Laju perwakafan kita tak lepas dari kebijakan pemerintah untuk memajukan KSI. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pemerintah hadir dengan dukungan yang sangat agresif. Pertama, Kementerian Agama bersama Kementerian ATR/BPN menandatangani MoU percepatan sertifikasi wakaf tahun 2021 silam, hasilnya kini setiap tahun rata-rata angka sertifikat yang diterbitkan sebanyak 25.000 lokasi, dan terbanyak di tahun 2023 dengan angka mencapai 31.806 sertifikat. Langkah ini memberi dampak besar, yakni meningkatnya angka penerbitan sertifikat wakaf yang kini mencapai 248 ribu di seluruh Indonesia.
Sertifikasi wakaf secara massal ini tentu membawa manfaat besar bagi perwakafan. Selain memberikan kepastian hukum dengan memberikan legalitas atas tanah wakaf, sertifikat juga menjaga beralihnya aset wakaf dengan alasan apapun. Setelah mendapatkan sertifikat, maka aset wakaf tersebut tidak dapat dialihkan oleh siapapun. MoU tersebut juga menjadi senjata efektif menyelesaikan konflik pertanahan di pengadilan.
Kedua, dalam rangka menindaklanjuti kebutuhan terhadap para Nadzir yang berstandar, maka Kementerian Agama juga telah mendapat pengesahan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (KMK) Nomor 47 Tahun 2021 Bidang Wakaf. SKKNI Nazhir mencakup berbagai aspek penting dalam pengelolaan wakaf, termasuk pemahaman tentang hukum dan regulasi wakaf, manajemen keuangan, strategi investasi, dan kemampuan dalam memberdayakan masyarakat melalui program-program wakaf.
Lahirnya SKKNI Nazhir ini juga diikuti dengan terbentuknya Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Nazhir pada BWI. Baik SKKNI maupun LSP adalah langkah strategis Kementerian Agama memperkuat dan mempersiapkan nadzir untuk bersaing di tingkat global. Penetapan standar ini tidak hanya meningkatkan kualitas nadzir di Indonesia tetapi juga membuka peluang bagi mereka untuk berpartisipasi perwakafan global. Dengan nadzir yang kompeten dan berkualitas, diharapkan pengelolaan wakaf akan lebih transparan, akuntabel, dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Ketiga, pemberian izin Lembaga Keuangan Syariah Penerima wakaf Uang (LKS PWU). Besarnya potensi wakaf uang juga disertai dengan ketersediaan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Tantangan geografis dan demografis dalam menggenjot potensi wakaf uang dijembatani dengan hadirnya 47 LKS PWU di berbagai wilayah Indonesia. Sejatinya, LKS PWU adalah jembatan penting untuk wakaf uang, terutama dalam menghadapi tantangan geografis dan demografis di Indonesia. Keberadaan LKS PWU meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berwakaf uang dengan lebih mudah dan terpercaya. Dengan dukungan infrastruktur keuangan yang modern dan sesuai syariah, LKS PWU mampu menjangkau berbagai kelompok demografis, dari yang berada di perkotaan hingga pedesaan, serta dari berbagai latar belakang ekonomi.
Belajar dari G20
Pada tahun 2022, Indonesia menjadi tuan rumah G20 yang dihelat di Nusa Dua Bali. Salah satu event besar dalam rangkaian G20 adalah hadirnya 11 Nadzir dalam paparan proposal pengembangan aset wakaf untuk fasilitas publik di hadapan Awqaf Properties Investment Fund (APIF), badan wakaf yang dibentuk oelh Islamic Development Bank (IsDB). Sebanyak 4 Nadzir mengajukan pendanaan untuk pembangunan Rumah Sakit, 2 untuk pembangunan pabrik, 3 proposal terkait perkantoran, 2 hotel. Islamic Development Bank (IsDB) hadir dalam Side Event G20 dengan misi besar, yakni memberikan pendanaan bagi para Nazir wakaf untuk pengembangan perwakafan secara produktif. IsDB mempersiapkan dana maksimum 75% pendanaan dari nilai total proyek.
Setelah berjalan dalam diskusi yang hangat, project ini dihadapkan pada hambatan yang cukup mendasar. Komitmen APIF tentunya menjadi angin segar bagi pengembangan harta benda wakaf, namun terbentur 3 (tiga) poin mendasar. Pertama, secara kelembagaan, Nazhir wakaf sangat rentan dari konflik. Konflik kenazhiran biasanya mencakup tiga area, yakni perebutan aset wakaf yang telah “nyata” menghasilkan keuntungan, belum adanya sistem audit wakaf menyebabkan Nadzir sangat rentan tak tersentuh audit, dan perebutan pengaruh.
Kedua, belum adanya spesifikasi keahlian Nadzir yang diakui di level Internasional. Kita telah memiliki SKKNI Nazhir, namun belum sepenuhnya mampu melahirkan nadzir-nadzir dengan spesifikasi tertentu di level Internasional. AFIF selalu bertanya, siapakah lembaga usaha yang akan mengoperasikan project yang anda ajukan? Misalnya saja hotel, maka AFIF bertanya siapakah Nadzir yang memiliki sertifikat dalam bidang perhotelan? Tak ayal alasan ini kemudian mendorong adanya kerjasama operasional dengan Hotel-Hotel bertaraf Internasional. Begitu pula dengan proposal RS, juga ditanyakan hal yang sama perihal nadzir dengan spesifikasi operator RS.
Ketiga, belum adanya lembaga penjaminan. Meski mengakui 11 proposal ini mungkin untuk didanai AFIF, namun ketiadaan lembaga penjaminan ini menjadi hambatan signifikan dalam pengembangan proyek wakaf, karena menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang tinggi bagi investor dan lembaga keuangan. Tanpa adanya jaminan, proyek-proyek wakaf cenderung sulit untuk mendapatkan pendanaan yang diperlukan untuk berkembang dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Hal ini pulalah yang terus menghentikan diskusi dengan AFIF pasca perhelatan G20 hingga hari ini.
Ketiga hal di atas merupakan pelajaran penting bagi kita dalam mengembangkan perwakafan dengan skema pendanaan dari perbankan ataupun lainnya. Kita semua sepakat bahwa potensi wakaf kita sangatlah besar, aset wakaf tanah kita lebih dari 400 ribu lokasi, jika 5% saja dapat diproduktifkan maka itu akan membawa berdampak luas bagi kemaslahatan umat. Di sisi lain, kita juga mencatat beberapa Nadzir dalam skala kecil telah memproduktifkan aset wakaf seperti Sinergy Foundation (SF) dengan Rumah Makan Jenderal di Lembang atau Rothe di Riau dengan pabrik rotinya. Kedua hal inilah yang harus dipertemukan melalui kebijakan strategis agar keduanya dapat berjumpa dalam hubungan yang sehat dan saling menguntungkan.
Ibarat dua orang yang saling tertarik dan potensial untuk dinikahkan, potensi wakaf dan sumber pendanaan harus disatukan oleh Mak Comblang, yakni kebijakan KSI yang inklusif dan progressif. Tak menutup kemungkinan jika ketiga masalah di atas dapat kita atasi, maka akan datang sumber-sumber pendanaan lainnya untuk nimbrung memberdayakan aset wakaf.
Menimbang Lembaga Penjamin Syariah
10 tahun ini kita sangat agresif melahirkan regulasi maupun kebijakan memajukan perwakafan di Indonesia. Hal itu terlihat dari mobilitas diskusi dan koordinasi antar pihak seperti Kementerian Keuangan, OJK, BI, BWI hingga Kementerian Agama dalam memecahkan hambatan perwakafan. Bahkan, kini optimisme itu hadir dengan rencana DPR untuk melakukan revisi terhadap UU wakaf nomor 41 tahun 2004. Semua ini mari kita sambut dengan optimisme dan langkah nyata.
Politik negara dalam perwakafan ke depan setidaknya perlu menghadirkan 3 (tiga) kebijakan strategis. Pertama, perlu penguatan Lembaga Kenazhiran (LK) Badan Wakaf Indonesia. Kita perlu mendorong agar BWI mampu menjadi Nadzir negara yang berlevel Internasional, sehingga kerja sama dengan lembaga internasional dapat dilakukan secara terukur dan terkoordinir. Penguatan ini juga mencakup kolaborasi BWI dengan LKS PWU dalam pemanfaatan wakaf uang untuk penguatan ekonomi dan lainnya.
Kedua, integrasi data perwakafan, baik berupa tanah, uang dan lainnya. Pekerjaan ini sejatinya sedang berjalan antara Kementerian Agama dan Kementerian ATR/BPN melalui integrasi data tanah dan wakaf. Kedua sistem pada dua kementerian ini sedang dalam tahap bersanding. Di sisi lain, sistem pelaporan dan pengawasan wakaf uang juga sedang berjalan disusun. Kita masih memiliki PR yakni menyiapkan regulasi pengadministrasian wakaf bergerak selain uang seperti saham, hak kekayaan intelektual, surat berharta maupun kendaraan.
Ketiga, perlunya lembaga penjamin untuk project-project perwakafan. Hampir di setiap diskusi tentang wakaf, isu ini mengemuka sangat kencang. Pun, dalam halaqah bersama BKF, isu ini kembali menghangat. Pembentukan lembaga penjamin syariah sejatinya telah diamanatkan dalam UU 41 tahun 2004 pasal 43 ayat (3), bahwa dalam situasi di mana pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf memerlukan penjamin, maka harus digunakan lembaga penjamin syariah.
Melalui pembentukan lembaga penjamin syariah, proyek-proyek wakaf mendapat kemudahan akses pendanaan dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari lembaga keuangan syariah dan investor swasta. Di sisi lain, para investor juga mendapat kepastian jaminan. Ketika dua hal ini bertemu dalam project yang hebat, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem wakaf akan meningkat dan potensi wakaf sebagai instrumen pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia juga akan nyata memberi bukti.
Lembaga penjamin syariah akan menjadi terobosan besar memajukan perwakafan menyongsong RPJPN 2025-2045. Akselerasi peran dan kontribusi wakaf dalam pembangunan akan semakin cepat menjangkau luasnya Indonesia, bahkan menjadi amunisi besar menuju Indonesia Emas 2045. Lebih dari 1.200 gedung BMN kita berada di atas tanah wakaf, belum ditambah BMN Madrasah, Sekolah Umum, fasilitas kesehatan dan gedung perkantoran. Sekali mengayuh, lembaga penjamin syariah ini akan menjadi solusi jangka panjang menuntaskan perdebatan aset BMN di atas tanah wakaf ini. wallahu a’lam bishowab.