
Pengislaman Ilmu dan Nativisme
Pengislaman ilmu bukan sekadar wacana, tetapi medan pertempuran gagasan yang mendebarkan sejak era 1970-an. Kedalaman dan kepentingan isu ini tidak dapat diabaikan. Dunia Islam berhadapan dengan cabaran membangun tradisi ilmu kemasyarakatan yang seimbang, sambil menolak imperialisme intelektual.
Sejarah pemikiran Islam mencatat pembahagian ilmu antara naqliyyah dan aqliyyah. Namun, paradigma ini berdebat dengan urgensi pembaharuan, terutama dalam konteks ilmu kemasyarakatan. Masalah kurang pembangunan yang menggelayuti banyak negara Islam menambah kegentingan pencarian teori dan solusi yang sesuai.
Namun, dalam perjuangan ini, kita diingatkan tentang bahaya nativisme. Sikap penolakan buta terhadap ilmu-ilmu kemasyarakatan Barat dapat menghambat pertumbuhan intelektual. Masyarakat Islam harus mengambil pelajaran dari kesalahan orientalisme tanpa terjebak dalam jurang nativisme.
Pengislaman ilmu bukanlah tugas yang mudah. Ia memerlukan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara agama dan ilmu. Ilmu tidak memiliki afiliasi, tetapi penggunaannya bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan keyakinan individu. Oleh karena itu, penelitian dan pembangunan teori harus bebas dari pengaruh penilaian yang bersifat subyektif.
Kita harus menghindari jatuh ke dalam perangkap ketidakseimbangan. Menyesuaikan ilmu dengan nilai-nilai Islam bukan berarti menolak warisan ilmiah Barat secara menyeluruh. Sebaliknya, kita perlu mengambil yang terbaik dari kedua dunia, tanpa meninggalkan identitas keilmuan kita sendiri.
Pengislaman ilmu adalah perjalanan dramatis menuju keselarasan antara kearifan lokal dan universalitas ilmu. Itu adalah panggilan untuk membebaskan diri dari belenggu orientalisme dan nativisme, sambil membangun sebuah tradisi ilmiah yang inklusif dan progresif bagi umat manusia.