Sekularisme: Tantangan dan Tantangan bagi Eksistensi Agama di Politik Indonesia
Dalam diktum “Islam, yes. Partai Islam, no!”, terdapat dua wacana besar yang terkandung di dalamnya. Pertama, tentang sekularisme, yang menyoroti hubungan antara agama dan politik serta desakralisasi simbolisme Islam dalam partai-partai Islam.
Kedua, tentang keberadaan partai-partai Islam dalam dinamika politik Indonesia, yang dilihat dari sudut pandang Cak Nur sebagai tidak mampu menampung aspirasi masyarakat Muslim.
Meskipun Cak Nur awalnya mengkritik kinerja partai-partai Islam, namun harapannya tetap agar aspirasi masyarakat Muslim bisa diwakili dengan adil. Hal ini tercermin dalam dukungannya terhadap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilu 1971. Namun, pada tahun 2004, langkah politiknya yang terkesan ironis mengundang pertanyaan tentang konsistensinya terhadap diktum yang diucapkannya.
Ketika membahas sekularisme, penting diingat bahwan pemahaman dan praktik sekularisme tidak selalu sama di tiap negara, tergantung pada konteks dan perspektif yang digunakan. Sekularisme politis, yang menyoroti hubungan antara agama dan negara, berbeda dengan sekularisme sebagai ideologi yang menolak otoritas keagamaan secara umum. Begitu juga dengan pengalaman sekularisme dalam praktek bernegara.
Penjelasan tentang New Differentiation Theory (NDT) juga mengindikasikan bahwa agama tidak harus terpinggirkan dalam masyarakat sekular, namun bisa menjadi bagian dari sistem institusional yang berdampingan dengan institusi lainnya.
Dalam merespons narasi sekularisme, ia bukanlah isu utama, mengingat masih ada masalah lain yang lebih mendesak seperti kemiskinan. Isu sekularisme hanya beredengung di kalangan elite negara dan kaum intelektual yang dibicarakan di kampus-kampus.
Selain itu, keberadaan partai politik berbasis agama seperti PKS, PPP, dan PKB menunjukkan bahwa agama masih memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik Indonesia. Namun, penulis juga mengingatkan bahwa upaya sekularisasi masih mungkin terjadi di masa depan, dan sebagai antisipasi, diperlukan diskursus intelektual yang serius untuk memahami dan menghadapi perkembangan ini.
Untuk menegaskan, isu sekuler ini bukanlah ancaman bagi eksistensi agama, namun merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan kesiapan dan pemahaman yang mendalam. Baik itu melalui perubahan sistem politik maupun upaya pencegahan melalui diskursus intelektual dipersiapkan negara kita.